TEORI
AGENDA SETTING
Studi efek media dengan
pendekatan agenda setting (penentuan/pengaturan agenda) sudah dimulai
pada tahun 1960-an, namun popularitas baru muncul setelah publikasi hasil karya
McCombs dan Shaw di Chapel Hill pada tahun 1972. Mereka menggabungkan dua
metoda sekaligus, yaitu analisa isi (untuk mengetahui agenda media di Chapel
Hill) dan survey terhadap 100 responden untuk mengetahui prioritas agenda
publiknya (Haryanto, 2003). Studi tersebut menemukan bukti bahwa terdapat
korelasi yang sangat kuat (0,975) antara urutan prioritas pentingnya 5 isu yang
dilansir oleh media di Chapel Hill bersesuaian dengan urutan prioritas pada
responden. Walaupun penelitian tersebut hanya dapat membuktikan pengaruh
kognitif media atas audiens, namun studi agenda setting tersebut
sudah dapat dipakai sebagai upaya untuk mengkaji, mengevaluasi, dan menjelaskan
hubungan antara agenda media dan agenda publik. McCombs dan Shaw (dalam
Griffin, 2003) meyakini bahwa hipotesa agenda setting tentang fungsi
media terbukti- terdapat korelasi yang hampir sempurna antara prioritas agenda
media dan prioritas agenda publik. Setelah
publikasi karya tersebut, banyak eksplorasi dilakukan dengan menggunakan metode
kombinasi analisa isi dan survey. Hasil-hasil penelitian lanjutan adalah
beragam. Ada yang memperkuat, akan tetapi tidak sedikit yang memperlemah
temuan McCombs dan Shaw. Mengapa
demikian? Rogers (1997) dalam A Paradigmatic Hystory of Agenda Setting
Research, berpendapat bahwa kurang diperhatikannya on going
process dalam framing dan priming agenda media; maupun on going process
dalam agenda public, seringkali menyebabkan kesimpulan yang diperoleh dalam
studi agenda setting tidak sesuai dengan realita yang ada. Dengan begitu, bisa
jadi hasil-hasil penelitian yang beragam itu ada yang bersifat semu. Artinya
hubungan yang terjadi disebabkan karena pilihan sampelnya kebetulan
mendukung/tidak mendukung hipotesis yang dikembangkan, atau mungkin pilihan
isu-nya kebetulan menyangkut/tidak menyangkut kepentingan kelompok responden. Teori
Agenda Setting merupakan teori yang menyatakan bahwa media massa berlaku
merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk
mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik
dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang
dianggap penting oleh media massa.
Sumber - http://adiprakosa.blogspot.com/2013/01/teori-agenda-setting_1823.html
- http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Penentuan_Agenda
- http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Penentuan_Agenda
TEORI USES AND GRATIFICATION
Teori uses and gratification pertama
kali dijelaskan dalam artikel Elihu Kalz yang diterbitkan pada tahun 1959.
Artikel Elihu Kalz tersebut merupakan reaksi atas tuduhan Bernad Barelson yang
mengatakan dengan provokatif bahwa penelitian komunikasi telah mati. Kalz lalu
mengatakan bahwa bila di masa lalu penelitian-penelitian komunikasi terpusat
pada pertanyaan “apa yang dilakukan media terhadapa audience/khalayak?” maka
kini penelitian komunikasi saatnya membalik pertanyaan “apa yang dilakukan
khalayak terhadap media?” (Tankard and Severin 1997;330).
Teori ini mempertimbangkan apa yang
dilakukan orang pada media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhanya.
Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra rasional dan
sangat selektif.
Menurut para pendirinya Elihu Katz; Jay G. Blumler; dan
Michael gurevitch (dalam Jalaludin Rakmat,1984), uses and gratificatins
meneliti asal asal mula kebutuhan secara psikologis dan sosial yang menimbulkan
harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada
pola terpaan media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan
menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Elemen dasar yang mendasari pendekatan
teori ini Kebutuhan dasar tertentu, dalam interaksinya dengan berbagai
kombinasi antara intra dan ekstra individu, dan juga dengan struktur
masyarakat, termasuk struktur media, menghasilkan berbagai percampuran personal
individu, dan persepsi mengenai solusi bagi persoalan tersebut, yang
menghasilkan berbagai motif untuk mencari pemenuhan atau penyelesaian
persoalan, yang menghasikan perbedaan pola konsumsi media dan (perbedaan pola
perilaku lainnya, yang menyebabkan perbedaan pola konsumsi, yang dapat memengaruhi
kombinasi karakteristik intra dan ekstra individu, sekaligus akan memengaruhi
pula struktur media dan berbagai struktur politik, kultural, dan ekonomi dalam
masyarakat.
Teori Uses and Gratification merupakan adalah
salah satu teori komunikasi dimana titik-berat penelitian dilakukan pada
pemirsa sebagai penentu pemilihan pesan dan media. Pemirsa dilihat sebagai
individu aktif dan memiliki tujuan, mereka bertanggung jawab dalam pemilihan
media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka dan individu ini
tahu kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi
salah satu cara pemenuhan kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media
untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau tidak menggunakan media dan memilih cara
lain.
Sumber
- http://taufikwibowo90.blogspot.com/2012/07/teori-uses-and-gratification.html
- http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_penggunaan_dan_pemenuhan_kepuasan
- http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_penggunaan_dan_pemenuhan_kepuasan
TEORI KULTIVASI
Teori Kultivasi (Cultivation Theory) merupakan salah satu
teori yang mencoba menjelaskan keterkaitan antara media komunikasi (dalam hal
ini televisi) dengan tindak kekerasan. Teori ini dikemukakan oleh George
Gerbner, mantan Dekan dari Fakultas (Sekolah Tinggi) Komunikasi Annenberg
Universitas Pennsylvania,yang juga pendiri Cultural Environment Movement,
berdasarkan penelitiannya terhadap perilaku penonton televisi yang dikaitkan
dengan materi berbagai program televisi yang ada di Amerika
Serikat.
Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu sangat menakutkan” . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari”.
Teori Kultivasi pada dasarnya menyatakan bahwa para pecandu (penonton berat/heavy viewers) televisi membangun keyakinan yang berlebihan bahwa “dunia itu sangat menakutkan” . Hal tersebut disebabkan keyakinan mereka bahwa “apa yang mereka lihat di televisi” yang cenderung banyak menyajikan acara kekerasan adalah “apa yang mereka yakini terjadi juga dalam kehidupan sehari-hari”.
Dalam hal ini, seperti Marshall McLuhan, Gerbner menyatakan
bahwa televisi merupakan suatu kekuatan yang secara dominan dapat mempengaruhi
masyarakat modern. Kekuatan tersebut berasal dari kemampuan televisi melalui
berbagai simbol untuk memberikan berbagai gambaran yang terlihat nyata dan
penting seperti sebuah kehidupan sehari-hari.Televisi mampu mempengaruhi
penontonnya, sehingga apa yang ditampilkan di layar kaca dipandang sebagai
sebuah kehidupan yang nyata, kehidupan sehari-hari. Realitas yang tampil di
media dipandang sebagai sebuah realitas objektif. Dalam penelitian
yang dilakukannya, Gerbner juga menyatakan bahwa cultivation
differential dari media effect untuk dijadikan rujukan untuk
membandingkan sikap penonton televisi. Dalam hal ini, ia membagi ada 4 sikap
yang akan muncul berkaitan dengan keberadaan heavy viewers, yaitu:
1. Mereka yang memilih melibatkan diri dengan
kekerasan
Yaitu mereka
yang pada akhirnya terlibat dan menjadi bagian dari berbagai peristiwa
kekerasan
2. Mereka yang ketakutan berjalan sendiri di
malam hari
Yaitu merekayang
percaya bahwa kehidupan nyata juga penuh dengan kekerasan, sehingga memunculkan
ketakutan terhadap berbagai situasi yang memungkinkan terjadinya tindak
kekerasan. Beberapa kajian menunjukkan bahwa untuk tipe ini lebih banyak
perempuan daripada laki-laki.
3. Mereka yang terlibat dalam pelaksanaan hukum
Yaitu mereka
yang percaya bahwa masih cukup banyak orang yang tidak mau terlibat
dalam tindakan kekerasan.
4. Mereka yang sudah kehilangan kepercayaan
Yaitu mereka yang sudah apatis tidak
percaya lagi dengan kemampuan hukum dan aparat yang ada
dalam mengatasi berbagai tindakan kekerasan.
TEORI
PELURU/JARUM HIPODERMIK
Teori Peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa
yang oleh para pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula Hypodermic
Needle Theory (Teori Jarum Hipodermik). Teori ini ditampilkan tahun 1950-an
setelah peristiwa penyiaran kaleidoskop stasiun radio siaran CBS di Amerika
berjudul The Invansion from Mars (Effendy.1993:264-265).
istilah
model hypodermic neadle timbul pada
periode ketika komunikasi massa digunakan secara meluas, baik di Eropa maupun
di Amerika Serikat, yaitu sekitar 1930-an dan mencapai puncaknya menjelang
Perang Dunia II. Pada periode ini kehadiran media massa baik media cetak maupun
media elektronik mendatangkan perubahan-perubahan besar di berbagai masyarakat
yang terjangkau oleh allpowerfull media massa. Penggunaan media massa
secara luas untuk keperluan komunikasi melahirkan gejala-gejala mass
society. Individu-individu tampak seperti distandarisasikan,
diotomatisasikan dan kurang keterikatannya di dalam hubungannya antarpribadi (interpersonal
relations). Terpaan media massa (mass media exposure) tampak di
dalam kecenderungan adanya homogenitas cara-cara berpakaian, pola-pola
pembicaraan, nilai-nilai baru yang timbul sebagai akibat terpaan media massa,
serta timbulnya produksi masa yang cenderung menunjukan suatu kebudayaan masa.Pengaruh
media sebagai hypodermic injection (jarum suntik) didukung oleh
munculnya kekuatan propaganda Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Media massa
memanipulasi kekuatan besar. Bukti-bukti mengenai manipulasi kekuatan besar
dari media massa ditunjukkan oleh peristiwa bersejarah sebagai berikut :
a) Peranan surat-surat kabar Amerika yang berhasil
menciptakan pendapat umum positif ketika perang dengan Spanyol pada 1898.
Surat-surat kabar itu mampu membuat penduduk Amerika membedakan siapa kawan dan
siapa lawan.
b) Berhasilnya propaganda Goebbels dalam periode
Perang Dunia II.
c) Pengaruh Madison Avenue atas perilaku konsumen dan dalam
pemungutan suara.Istilah model jarum hipodermik dalam komunikasi massa diartikan sebagai media massa yang dapat menimbulkan efek yang kuat, langsung, terarah,dan segera. Efek yang segera dan langsung itu sejalan dengan pengertian Stimulus-Respon yang mulai dikenal sejak penelitian dalam psikologi tahun 1930-an. Model jarum suntik pada dasarnya adalah aliran satu tahap (one step flow), yaitu media massa langsung kepada khalayak sebagai mass audiance. Model ini mengasumsikan media massa secara langsung, cepat, dan mempunyai efek yang amat kuat atas mass audiance. Media massa ini sepadan dengan teori Stimulus-Response (S-R) yang mekanistis dan sering digunakan pada penelitian psikologi antara tahun 1930 dan 1940. Teori S-R mengajarkan, setiap stimulus akan menghasilkan respons secara spontan dan otomatis seperti gerak refleks. Seperti bila tangan kita terkena percikan api (S) maka secara spontan, otomatis dan reflektif kita akan menyentakkan tangan kita (R) sebagai tanggapan yang berupa gerakkan menghindar. Tanggapan di dalam contoh tersebut sangat mekanistis dan otomatis, tanpa menunggu perintah dari otak. Teori peluru atau jarum hipodermik mengansumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Teori ini mengansumsikan bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif).
Sumber : http://studyingcommunication.blogspot.com/2012/05/teori-peluru-atau-jarum-hipodermik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar